Prof. Soeroso Notohadiprawiro, adalah pendiri jurusan Teknik Geologi Universitas Gajah Mada. Beliau adalah professor otodidak karena hanya lulusan STM tapi menjadi guru besar yang dihargai secara international serta mendapat penghargaan dari "International Cooperation Administration, karena prestasinya di bidang pendidikan teknik. Pak Roso atau Mbah Roso, panggilan akrabnya wafat pada tanggal 7 November 1977. Nama Prof Soeroso sekarang dipakai sebagai nama Stasiun Lapangan Geologi di Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Stasiun Lapangan ini menjadi tempat kuliah lapangan baik dari Jurusan Geologi, dan fakultas lain dari Univ Gadjah Mada, juga dari Universitas lain. Lapangan ini dikelola oleh Jurusan Teknik Geologi UGM.
Disarikan oleh Rovicky Dwiputrohari dan Herman Darman berdasarkan tulisan yang diterbitkan di majalah Nebula 4, majalah Gelora Mahasiswa, no.8, thn 3, edisi Desember 1978. dan tulisan Wartono Rahardjo di majalah Nebula, 1989.
RIWAYAT SINGKAT
1904 Lahir pada tanggal 24 April
1922 Pelaksana bangunan sipil “Sitzen & Lozauda” Yogyakarta
1925-1928? Shell Netherland - Den Haag
1929 Menikah denan R. Ay. Sri Sutengsun
1943 Guru Sekolah Teknik Menengah (STM) Jakarta
1958-1962 Sekretaris Fakultas Teknik Geologi UGM
1959-1972 Ketua Jurusan Teknik Geologi UGM
1960 Guru besar Teknik Geologi UGM
1970? Menerima bintang Satya Lencana Pengabdian
1971? Pensiun
PENGALAMAN BERHARGA
Soeroso merupakan satu-satunya orang pribumi dari 80 pemuda yang diterima. mengikuti pendidikan pegawai perminyakan di Den Haag, sebelum diangkat jadi ajun geoloog. Kerja pertamanya di daerah Rantau, Aceh, mengawali prestasi-prestasi Soeroso sebagai ahli eksplorasi geologi dan minyak bumi. Dia berhasil "menjatuhkan" 17 orang penyelidik pendahulunya - termasuk beberapa sarjana, yang telah menyatakan Rantau sebagai daerah ‘non minyak’, tetapi ternyata merupakan sumber minyak yang menghasilkan jutaan gulden bagi BPM dan Shell. Kemudian berturut-turut dijelajahi hampir seluruh Sumatera untuk mencari ladang minyak baru atau eksplorasi ilmiah.
PENGALAMAN YANG KURANG MENYENANGKAN
Jaman perang memang mampu menyulam pengalaman orang dengan aneka cara hidup. Tatkala Jepang masuk, Soeroso yang masih punya gelar bangsawan : Raden, terpaksa sembunyi di Gunung Sawal, Jawa Barat, takut jika dipaksa jadi romusha oleh ‘saudara tua’. Hampir dua tahun saya jadi petani karet dan kelapa serta mendirikan perusahaan dagang "Banyu Asih", sebelum saya diminta menjadi Wakil Direktur STM Jakarta oleh kerabat saya Ki Hadjar Dewantara dan mulai saat itu saya melakukan profesi sebagai pendidik.
"Di Pangkalan Susu, Teluk Aru, ladang minyak yang saya temukan ketika di bor menyembur deras dengan debit 1 juta ton sehari telah menggenangi laut dan terbakar. Apinya menjulang dan kelihatan dari jarak 90 km di kota Medan, sebulan baru dapat dipadamkan dengan bantuan tenaga dari Amerika. Peristiwa itu membeawa beberapa korban jiwa manusia ...", nampak suara Profesor sendu menceritakan kisahnya kepada GEMA.
PENGALAMAN LUCU
Sudah menjadi kebiasaan pada waktu itu bahwa bagi para geolog lapangan bahwa sungai merupakan sahabat yang baik. Lintasan pemetaan umumnya sangat efisien kalau dilakukan dengan menyusuri sungai. Demikian pula air untuk mandi dan mencucipun diambil dari sungai. Tak ketinggalan tentunya buang airpun di sungai. Nah pada suatu pagi, geolog muda Soeroso memisahkan diri dari kru pemetaan yang dipimpinnya untuk nongkrong buang air di tepi sungai. Benak beliau masih sarat terisi oleh problematik yang belum terselesaikan . Ketika buang air tersebut, beliau keras berfikir, sambil sekali-sekali memandang ke arah sungai untuk melihat barangkali ada buaya ganas yang sedang berjemur. Pada waktu mata beliau mengamati sungai, pandangannya tertumbuk pada sesuatu yang mencuat dari dalam air sungai, yang kebetulan tidak seberapa keruh. Semula beliau menganggap itu sebagai kayu hanyut yang mencuat dari dalam sungai saja. Namun naluri geologi beliau mengatakan tidak, barangkali suatu singkapan perlapisan batuan.Secara bergegas beliau membersihkan diri lalu menghampiri tempat yang mencurikgakan tersebut. Apa yang ditemui beliau? Tak lain adalah perlapisan kunci yang selama itu dicari-carinya. Dengan penuh kegirangan diukur dan dicatatnya singkapan yang sangat berharga ini. Selanjutnya rekonstruksi struktur dilakukan kembali dan akhirnya persoalan struktur di daerah tersebut dapat dipecahkan. Selesainya persoalan struktur itu kemudian secara langsung diikuti dengan ditemukannya ladang minyak di Sumatera Selatan.
SARAN-SARAN
“Anakmuda harus punya keberanian bereksperimen, ketangguhan ‘ousdour’ atau ketahanan diri dalam menghadapi cobaan hidup. Percaya kepada kemampuan diri dan jangan hanya menggantungkan input dari pendidikan formil, tapi belajarlah otodidak”, demikian petuah Profesor Soeroso Notohadiprawiro, 72 tahun saat itu.
015. Bambang Gumilar
14 years ago
Nama beliau bukan Soeroso Notohadipranoto, tetapi Soeroso Notohadiprawiro. Sebagai muridnya, menurut saya beliau pantas mendapat gelar Professor karena bukan hanya jasa-jasanya mendirikan Teknik Geologi di UGM, tetapi memang beliau benar-benar cukup mumpuni, tahu banyak, selalu bereferensi buku ilmiah, dan memang seharusnya kita memposisikan seseorang pada jamannya. Kalaupun STM saat itu kalau sekarang setara dengan Ir./sekurang-kurangnya ST. Kalau Ir. seperti Soekarno, setara dengan Dr./Ph.D. saat ini. Pemberian materi kuliahnya jelas, selalu meminta mahasiswa membaca buku-buku textbook yang diperlukan untuk setiap mata kuliah yang diberikannya (banyak mata kuliah).
ReplyDeleteWassalam,
Prof. Dr. Ir. Otto S.R. Ongkosongo, BE.
Council Member, United Nations University (UNU)
Pak Otto, terima kasih untuk masukannya. Sudah kami perbaiki.
ReplyDeleteSebelumnya saya berterima kasih sekali karena sudah menulis artikel tentang Prof Soeroso.. Tapi saya ijin koreksi yaa, istri beliau bernama R.Ay Sri Sutengsu, tidak pakai N. Saya salah satu cicit beliau :)
ReplyDelete